Rabu, 14 Maret 2012

"Nanggung" (Penanggungan)

         Penanggungan dalam bahasa jawa berasal dari kata Nanggung yang berarti tengah-tengah atau tidak sekalian, Jadi nama Gunung Penanggungan memiliki arti gunung yang tingginya menang nanggung atau tengah-tengah. Gunung yang dulunya terkenal disebut sebagai gunung Priyamitra atau Tanah kayangan oleh umat hindu zaman kerajaan Majapahit memang memiliki ukuran yang tak terlalu besar dan tak terlalu tinggi, yaitu cuma 1682 mdpl. Terletak di perbatasan Mojokerto dan Pasuruan, gunung yang terkenal sebagai gunung seribu candi ini memiliki banyak peninggalan purbakala yang banyak dijumpai di kaki gunung bahkan di lerengnya sekalipun. Berdasar ceritanya dulu gunung ini berasal dari penggalan puncak G. Meru dari India yang dibawa para dewa ke Tanah Jawa untuk menenangkan pulau Jawa yang sat itu masih gonjang-ganjing. Penggalan puncaknya jatuh menjadi G.Penanggungan dan badannya menjadi G.Semeru, Sehingga banyak dijumpai kemiripan dari kedua gunung ini yang sebagiannya adalah puncaknya yang sama-sama mengerucut.

          Untuk melakukan pendakian ke Gunung ini dapat ditempuh melalui banyak jalur sebenarnya, tapi yang terkenal Cuma 2 yaitu lewat Trawas dan Jolotundo. Kalau lewat Trawas, kita dapat berangkat dari Pandaan dan menumpang angkutan menuju ke Trawas. Sedangkan kalau lewat Jolotundo, kita dapat lewat Trawas dan minta diantarkan oleh tukang ojek menuju PPLH Seloliman. Kedua jalur ini memiliki keunggulan masing-masing yaitu kalau kita lewat jalur Trawas dibutuhkan waktu Cuma 4-5 jam untuk langsung sampai puncak dan tak ada pos di sepanjang perjalanan karena kita langsung mendaki melewati tanjakan terus-menerus hingga ke puncak. Sedangkan kalau lewat Jolotundo memang membutuhkan waktu yang agak lama yaitu 6-7 jam untuk sampai ke puncak, tetapi di sepanjang perjalanan tidaklah monoton karena kita akan melewati banyak candi disepanjang perjalanan. Untuk itu saya akan menceritakan pendakian saya yang kesekian kalinya ke gunung ini bersama-sama teman-teman yang berbeda dari cerita sebelumnya.  Saat itu banyak teman saya yang ingin mengajak saya mendaki gunung setelah merayakan kelulusan kami sebulan sebelumnya dan ada yang sambil menunggu panggilan kerja pula, kemudian saya putuskan untuk naik G.Penanggungan saja karena tidak membutuhkan waktu yang lama yaitu Cuma 2 hari saja. Setelah semua setuju, untuk menambah personel saya mengajak teman satu kos saya juga agar pendakian ini bertambah ramai. Sebelum melakukan pendakian keesokan harinya, saya menghubungi Pak Sembodo untuk minta izin esoknya menyediakan tempat parkir buat motor seperti biasanya. Tetapi beliau menjawab bahwa beliau sudah tidak bekerja ditempat itu lagi, jadi beliau menyarankan untuk mencoba parkir di Parkiran candi Jolotundo saja karena tempat tersebut sekarang buka 24 jam. Dan saat itu saya kaget ternyata dia juga ikut bergabung dalam ekspedisi saya bersama teman-teman esoknya, ya lumayan lah buat guide kami nantinya kalau seandainya kalau kesasar disana. Kamipun berangkat dari Surabaya menuju Jolotundo memakan waktu kurang lebih 3 jam perjalanan, kami sampai disana malam hari sekitar pukul 19.00 WIB. Kami disambut dengan terangnya jalan yang kami lewati dan ramainya tempat tersebut, hal ini sangat berseberangan dengan kondisi tahun lalu  yang masih tersimpan dalam benak saya yaitu bahwa daerah ini masih tertinggal dalam masalah pasokan listrik. Kamipun bertemu pak Sembodo disana dan istirahat sebentar sambil mengisi perut terlebih dulu disalah satu warung dekat pintu masuk ke Jolotundo. Kemudian kami menuju ke atas yaitu menuju candi pertitaan Jolotundo untuk memarkir motor kami masing-masing, biaya parkir +tiket masuk kawasan ini totalnya Rp.10.000. 





          Setelah semua siap, kamipun memulai pendakian sekitar pukul 20.00 WIB. Pendakian ini dimulai dengan melewati trek yang agak menanjak hingga memasuki kawasan pepohonan besar di salah satu bukit. Karena kami berangkat malam hari dan kondisi trek yang sudah berubah dari tahun sebelumnya agak menyulitkan kami dalam menentukan jalur mana yang merupakan benar-benar jalur pendakian. Tantangan inilah yang disajikan gunung ini bila kita setiap kali mendaki gunung ini yaitu menentukan jalur yang tepat, bahkan seorang yang bisa dikatakan sudah hafal asam garam gunung ini dan naik berkali-kali ke gunung ini masih sering kesasar kayak perjalanan malam itu bersama kami. Kami kesasar karena tergoda melewati jalur baru yang mengarahkan kami ke jalur yang belum pernah saya yakini bahwa itu jalur yang benar. Ditambah kekurangan senter untuk menerangi jalan malam itu semakin menambah penderitaan kami, akhirnya kami cuma muter-muter disalah satu bukit yang saya yakini dulunya saya juga pernah kesasar disini. Akhirnya setelah muter-muter 2 jam, kami memutuskan kembali ke jalur awal dan mencoba mencari jalur yang benar apakah masih ada atau memang atau pembuatan jalur baru yang memang belum kami ketahui sebelumnya. Alhamdulillah kami dipertemukan dengan jalur lama dan kamipun langsung tancap gas untuk memulai pendakian ini lagi. Setelah 2 jam melewati semak-semak belukar di hutan kemiri disertai jalan yang menanjak terus dan terkadang berdebu, akhirnya kami sampai di Candi bayi dan berjalan lurus sedikit sampai di Watu Talang. Kamipun istirahat sebentar untuk melepas lelah di malam itu. Dari Watu talang sudah terlihat gemerlap lampu dari kawasan Ngoro industry dan perumahan penduduk di kaki gunung ini, sehingga seakan-akan kami betah untuk berlama-lama di tempat ini. Setelah cukup istirahat, kami melanjutkan perjalanan lagi dengan melewati punggungan bukit yang ditumbuhi banyak tanaman ilalang. Setelah satu jam berjalan kami sampai di Candi Putri dan kami istirahat sejenak ditempat tersebut. Kemudian kami melanjutkan perjalanan lagi dan tak berselang lama sampailah kami di Candi Pure , Candi Gentong dan Candi Sinta yang jaraknya antar candi tak begitu jauh sehingga tak memakan waktu yang lama. Setelah itu barulah kami melakukan pendakian yang sebenarnya dengan melewati trek yang berbatu-batu. Dengan kemiringan medan pendakian sekitar 65˚, terkadang kami harus merayap untuk melewati treknya. Dengan kondisi trek yang memang agak sulit dan terus naik, naik dan naik membuat fisik kami cepatlah lemas. Sehingga kira-kira berjalan 10 menit sudah istirahat lagi dan seterusnya, sehingga membutuhkan waktu yang agak lama untuk ke puncaknya. Akhirnya kami sampai di Puncak Penanggungan sekitar pukul 03.00 WIB dan beberapa teman saya sangatlah gembira akan pencapaian ini karena inilah puncak pertama mereka. Tak lama kemudian rasa hangat dari tubuh kami seusai setelah berjalan beberapa jam menuju puncak berganti menjadi rasa dingin yang luar biasa karena kami Cuma duduk terdiam di puncak sambil melihat pemandangan yang luar biasa yaitu berupa gemerlapnya lampu perkotaan Sidoarjo dan Surabaya dari puncak ini. Kemudian kamipun berjalan menuju bekas kawah untuk mendirikan tenda disamping gua kecil yang biasanya menjadi tempat istirahat para pendaki yang tak membawa tenda. Karena jumlah kami 8 orang dan tenda kami hanya muat diisi 5 orang, akhirnya kami membagi dalam 2 kelompok yaitu ada yang tidur di tenda dan ada yang tidur didalam gua. Karena selama perjalanan menghabiskan banyak energy, kamipun memasak mie instan diatas api unggun yang kami buat dari kayu bakar yang kami cari sepanjang perjalanan tadi. Tanpa basa-basi kamipun melahap setiap mie yang matang, tak peduli meskipun masih panas apalagi tak ada cukup sendok untuk makan. Setelah itu kami terlelap semuanya dalam belaian dinginnya suhu di puncak Penanggungan. Berselang beberapa jam, Pagipun sudah menjelang dan cuaca dingin berubah menjadi panas. Karena kondisi kami yang masih kurang fit karena kurang tidur, kamipun masih terlelap dalam tidur kami. Tapi hal itu tidak berlaku bagi saya yang kebetulan saat itu tidur dalam tenda, karena sinar matahari pagi itu sangat terik. Sehingga suhu dalam tenda kamipun sangatlah panas dan lama kelamaan saya bangun karena tak betah dengan pengapnya suhu dalam tenda. Saya memutuskan untuk berjalan dan berputar-putar melihat indahnya  pemandangan di puncak ini. Setelah berselang lama kemudian, kawan saya bangun semua dan bersiap-siap untuk turun karena pagi itu cuaca sudah sangatlah terik. Tak lupa kami mengabadikan momen ini dengan berfoto-foto bersama dipuncak. Akhirnya kamipun turun dengan santainya sambil jeprat-jepret sana-sini, apalagi kalau turun melewati beberapa candi sepanjang dalam perjalanan turun. Untuk perjalanan turun Cuma memerlukan waktu 2-3 jam dan tetap harus memperhatikan aspek keselamatan diri kami karena perjalanan turun sangatlah berbahaya daripada perjalanan naik. Akhirnya kami sampai di Candi Jolotundo dan langsung melepas lelah sambil merendamkan kaki di sejuknya air kolam Candi ini. Untuk melepas lelah kamipun mandi di kolam pemandian di salah satu bilik candi ini, segarnya air kolam seakan melupakan rasa capek yang kami alami sebelumnya. Demikianlah cerita dari saya mengenai pendakian ke Gunung Penanggungan ini, melalui kegiatan mendaki gununglah saya diajarkan banyak hal dalam hidup ini hingga saya benar-benar cinta terhadap kegiatan ini. Semoga dapat menjadi inspirasi dan sumber referensi bagi perjalanan anda nantinya.      









Tidak ada komentar:

Posting Komentar