Bercerita tidaklah sulit untuk dilakukan sebagian orang apabila hobinya memang suka bercerita, tapi bercerita sambil menulis inilah yang sulit dilakukan sebagian orang karena tak semuanya juga suka menulis. Dalam kesempatan ini, saya mengucapkan terima
kasih buat kawan-kawan yang sudah bersedia menyempatkan membaca blog saya ini, berikut ini saya ulaskan sedikit pengalaman saya saat mendaki
G.Penanggungan pertama kali semenjak menjadi seorang mahasiswa. Ini adalah pendakianku kalau tidak salah saat itu ke
3 kalinya, aku sudah bolak-balik ke G.Penanggungan sejak dari jaman SMA
dulu, jadi riwayat pengalaman pertama pendakianku adalah ke gunung ini. Tapi
kenapa gunung ini selalu buat aku kangen??? Jawabannya adalah karena
gunung ini gk tinggi-tinggi amat dan tidak perlu persiapan khusus
kayak naik gunung-gunung lain yaitu cukup bawa air, makanan dan jaket
saja. Selain itu pemandangan gunung ini sering nampak dalam penglihatan saya setiap dalam perjalanan berangkat atau pulang kerumah, jadi selalu terbesit keinginan mendaki gunung ini. Apalagi jaraknya tak terlalu jauh dari rumah jadi bisa hemat waktu dan sekaligus hemat budget juga.
Gunung
Penanggungan berlokasi di perbatasan antara kabupaten
Pasuruan-Mojokerjo Jawa Timur. Dengan memiliki ketinggian 1653 Mdpl dan sudah tak aktif lagi menjadikan gunung ini tetap menjadi primadona para pendaki dari kawasan Surabaya, Mojokerto, Sidoarjo dan Pasuruan. Kita dapat mendakinya melalui dua jalur utama
yaitu dapat melalui Pos Trawas dan Pos Jolotundo. Meskipun gunung ini
dalam kategori kecil atau gak tinggi-tinggi amat, tapi tantangan yang
disajikan gunung ini melalui treknya sungguh memberikan pengalaman
yang terlupakan bagi para pendakinya. Karena stamina kita akan
digenjot untuk naik terus-menerus dari pos perijinan hingga kepuncak,
kira-kira membutuhkan waktu 6 jam perjalanan. Gunung ini sering
disebut para pendaki sebagai replika G. Meru dari India, karena puncak utama gunung ini sama miripnya ditopang empat puncak gunung kecil disekitarnya atau asal-usul gunung ini dulunya merupakan penggalan dari puncak G.Meru India yang dibawa oleh para dewa untuk menenangkan bumi Jawa yang saat itu sedang kacau gonjang-ganjing, tetapi dalam perjalanan G.Meru jatuh terbelah 2 yang puncaknya jatuh menjadi G.Penanggungan dan badannya jatuh di Lumajang menjadi G.Semeru. Itulah sedikit cerita rakyat mengenai gunung ini yang dulunya orang disekitarnya menyebutnya sebagai gunung Prawitra, di gunung ini banyak ditemukan peninggalan
purbakala berupa candi-candi dan gua-gua baik dari kaki gunung, badan
gunung hingga puncak gunung. Kurang lebih terdapat 81 situs peninggalan purbakala yang tersebar di gunung ini dan diantaranya merupakan peninggalan
dari kerajaan majapahit. Gunung ini dulunya
adalah gunung suci umat hindu pada zaman kerajaan majapahit, sehingga sering digunakan sebagai tempat
persemedian para resi yang ingin menyepi dari keramaian dengan hidup
lebih dekat dengan para dewa, jadi mereka dulu beranggapan puncak
gunung adalah tempat kediaman para dewa. Kebanyakan
gunung-gunung di pulau jawa pasti memiliki keterkaitan dengan
cerita-cerita zaman dulu, sehingga banyak diantaranya yang memiliki
kisah mistik tersendiri.
Dalam
ekspedisi ini kami sebenarnya hanya terdiri dari 3 orang saja, yaitu Saya, Sas dan Korak, tapi menjelang keberangkatan Sas mendapat SMS
bahwa teman kami dari SMA dulu yaitu Apris ingin ikut gara-gara tahu dari
status FB kami. Dia mengajak 2 temannya yang kebetulan satu kampus juga dengan saya yaitu ITS,
Jadilah kami berangkat ber-6 dengan tambahan personel Apris, Gundul
dan Gremmer. Kami Start dari rumah Korak di Krembung-Sidoarjo dan
menempuh perjalanan melewati perbatasan Sidoarjo-Mojokerto yaitu didaerah
Ngoro. Karena perbatasan ini dibatasi oleh Sungai Brantas, jadi kami
harus melewati jembatan penghubung satu-satunya yang terbuat dari
kayu yang merupakan peninggalan zaman Belanda juga. Jembatan ini
panjangnya kurang lebih 150 m dan kalo waktu lewat memberikan kesan
tersendiri karena akan digoyang oleh derasnya arus sungai brantas dan
jangan pernah sesekali menengok ke kesamping apalagi kebawah. Setelah
itu sampailah kami di desa Seloliman- Trawas yang merupakan base camp
pendakian gunung ini kalo mau lewat dari Jolotundo. Jolotundo adalah
nama salah satu situs peninggalan purbakala yang berupa candi
pertitaan/pemandian tepatnya peninggalan kerajaan Airlangga kalo
tidak salah. Kami memarkir kendaraan kami di parkiran obyek wisata
Jolotundo dengan membayar satu motornya Rp.5000 dan karena kami masuk
dalam kawasan wisata, kami juga kena retribusi tiket masuk Rp.3000
perorangnya. Tapi tiket masuk itu kami gunakan untuk masuk pas
sekembalinya dari pendakian.
Kami
Start pendakian mulai pukul 14.30 WIB dengan menyusuri trek sempit
dan menanjak, baru beberapa menit berjalan saja stamina kami sudah
terkuras akibat panasnya cuaca saat itu dan keringnya kondisi trek
saat itu seringkali membuat jalan tersebut berdebu kalo diinjak.
Belum disitu saja rintangan yang disajikan gunung ini, belum
seperempat perjalanan kami sudah kebingungan mencari jalur pendakian.
Saat itu jalur pendakian ini tidaklah begitu jelas karena banyaknya
jalur non pendakian yang dibuat oleh para petani ladang dan para
pemburu, sehingga seringkali banyak pendaki yang tersesat. Saya, Sas,
Korak dan Apris pernah tersesat gara-gara dibingungkan lewat jalur
ini sehingga kami terpaksa memutari badan gunung dan membutuhkan
waktu 10 jam perjalanan untuk sampai puncak, sungguh pengalaman yang
tidak mengenakkan. Jadi kami belajar dari pengalaman saat itu, kami
memutuskan untuk berhenti dulu dan berpikir matang-matang. Jalur
pendakian sebenarnya biasanya memiliki jalur yang jelas dan terkadang
terdapat tanda-tanda yang dibuat oleh para pendaki lain agar tak
tersesat. Akhirnya kami mengikuti tanda-tanda yang dibuat para
pendaki lain yang berupa goresan cat berwarna di pohon-pohon.
Sesampainya di tengah jalan kami merasa kurang sreg, sehingga kami
memutuskan bertanya saja pada petani yang lewat di jalur ini. Petani
itu menjelaskan bisa saja kami lewat sini tapi kami harus memutari
badan suatu bukit dan membutuhkan waktu agak lama, sedangkan kami
bisa memperpendek waktu dengan memotong kompas melewati bukit diatas
kami yang merupakan jalur lama. Akhirnya kami memutuskan lewat jalur
lama dengan memotong kompas melewati ladang yang letaknya disalahsatu
bukit, sesampainya di puncak bukit tersebut kami teringat dulu kami
pernah lewat jalur ini. Kami beranggapan jalur lama ditutup mungkin
karena jalurnya kurang jelas dan sering membuat para pendaki kesasar,
akhirnya untuk menagtasi masalah ini dibuatlah jalur baru dengan trek
yang mudah tapi jaraknya agak jauh. Kami melanjutkan perjalanan
dengan trek tanjakan terus sehingga stamina kami cepat terkuras.
Sesi Break di Trek Jolotundo - Watutalang |
Kurang
lebih 2,5 jam kami sudah berjalan dan akhirnya kami tiba di Pos
pertama yaitu Candi Bayi sekaligus berjalan lurus sedikit sampailah
kami di Watu Talang. Candi Bayi dan Watu Talang jaraknya berdekatan
sehingga kita dapat memilih salah satu tempat untuk beristirahat
sejenak. Kami beristirahat sejenak di Candi bayi karena tempatnya
teduh, kami mengeluarkan sedikit snack dan buah-buahan untuk kami
makan sebagai pengganjal perut. Candi Bayi berupa tumpukan batu
andesit yang tinggal pondasinya saja dan tidak terlalu besar
ukurannya, sedangkan Watu Talang adalah sebuah sungai bekas aliran
lahar dingin dari Gunung ini zaman dulu. Di watu talang kami
menyempatkan diri untuk berfoto-foto terlebih dahulu karena memiliki
sebuah pemandangan yang unik dengan tumpukan-tumpukan batu andesit
bekas lava yang terbentuk rapi dan memanjang kebawah.
Watu Talang |
Kami
melanjutkan perjalanan kami dengan menyeberangi watu talang dan
melewati punggung kaki gunung, disertai semak-semak belukar yang
berupa alang-alang dengan daunnya yang dapat melukai kulit dan
tumbuhan yang memiliki ranting-ranting pendek yang terkadang
menghambat kami dalam perjalanan karena kami seseringkali menunduk
ketika melewatinya. Setelah satu jam perjalanan akhirnya kami di
Candi Putri dan kami beristirahat sebentar. Candi putri adalah candi
kedua yang kami temui dalam perjalanan dengan bentuknya yang agak
besar, kondisi yang masih utuh dan melekat di badan gunung.Kemudian
kami melanjutkan perjalanan lagi, setengah jam perjalanan kami sampai
di Pos ketiga yaitu candi Pure. Candi Pure letaknya ditempat agak
terbuka dengan bentuk candi hanya berupa 2 nisan yang entah
menggambarkan adanya kuburan disitu atau hanya sebuah prasasti
peninggalan purbakala zaman dulu. Kami
melanjutkan perjalanan lagi selama setengah jam untuk menuju ke Pos
keempat yaitu Candi Gentong, di Candi Gentong ini terdapat sebuah
meja batu dan sebuah gentong.Setelah
itu kami berjalan kurang lebih 5 menit untuk menuju candi terakhir
sekaligus pos terakhir yaitu Candi Sinta. Disini kami dapat melihat
puncak Penanggungan tapi kelihatan masih jauh untuk mencapainya.
Dengan
semangat 45, kami langsung melanjutkan perjalanan lagi. Dan inilah
saatnya menghabiskan stamina yang ada dengan perjalanan naik, naik
dan naik terus menerus. Ini belum ditambah parahnya kondisi jalur
kami lewati karena ini adalah jalur air mengalir dari puncak ketika
hujan jadi tanahnya agak labil ketika menjadi pijakan. 15 menit
berjalan- 5 menit break dan seterusnya itulah kondisi kami saat itu,
bagaimana tidak?? Dengan kemiringan sekitar 65˚, terkadang kami
harus memanjat atau merangkak untuk melewati jalur ini.
Sesi Break di Trek Menuju Puncak |
Setelah
langit mulai petang, barulah kami mulai mencari kayu bakar untuk
membuat perapian diatas, kayu bakar disini sangatlah melimpah karena
banyak dijumpai pada saat perjalanan kepuncak. Kayu bakar yang
dimaksud berupa ranting dari semak belukar yang sudah kering,
sehingga kami dari dulu tak pernah membawa kompor untuk memasak di
puncak. Setelah kami kira cukup kayu bakar yang didapat, kami
mengeluarkan jaket dan sarung tangan karena hawa disekitar sudah
mulai dingin akibat kabut yang mulai turun dari puncak. Tidak lupa
kami mengeluarkan senter pula untuk penerangan dalam perjalanan.
Kemudian kami melanjutkan perjalanan dengan berselimut kabut yang
mulai mengurangi jarak pandang kami kedepan. Terkadang kabut
menghilang, kami dapat melihat indahnya gemerlap lampu yang menyala
di bawah kami, dan kami juga dapat melihat kelap-kelip cahaya senter
para pendaki yang hampir sampai di puncak atau api yang dibuat oleh
para pendaki di puncak. Hal itu semakin menambah semangat kami untuk
segera mungkin sampai dipuncak, dan yang pertama kali sampai di
puncak adalah Korak. Disusul Sas, aku dan yang lain dan kami
berteriak sepuasnya untuk mengungkapkan kegembiraan kami karena telah
sampai dipuncak Penanggungan.
Di
puncak kondisinya sangatlah ramai, karena kami kesini tepat dalam
rangka merayakan hari kemerdekaan RI esoknya. Disana-sini terdapat
tenda, seolah kami sudah tidak kebagian tempat lagi untuk mendirikan
tenda. Akhirnya kami turun ke bawah yaitu ke kawah Penanggungan yang
berupa lahan datar yang luas, disini kami sebelum mendirikan tenda
kami harus membersihkan alang-alang terlebih dulu untuk dapat
dijadikan alas bagi tenda dan tikar kami. Selesainya bersih-bersih,
kami langsung mendirikan tenda dan membuat api unggun. Tidak lupa
kami juga memasak makanan untuk mengganjal perut kami dan minuman
untuk menghangatkan tubuh kami, kami memasak mie dan air panas untuk
kopi. Setelah mie masak kami saling berebutan makan tanpa peduli
kepanasan, kebersihan dll. Karena perut kami sudah lapar dan apapun
makanan biarpun makanan itu basi kalo kondisi perut kita kelaparan
dan badan kedinginan pasti semuanya menjadi enak dan lezat. Hal itu
sudah saya buktikan ketika pendakian saya yang kedua, saat itu saya
membungkus makanan dari rumah. Karena saking lamanya perjalanan
membuat makanan saya basi, tapi tak lantas saya buang malahan saya
makan karena perut saya memang benar-benar lapar. Hal ini mengajarkan
kepada kita bahwa jangan sekali menyisakan bahkan membuang makanan,
hargailah mereka karena kita belum pernah dalam kondisi kelaparan.
Setelah itu kami ngopi bareng sambil menghangatkan diri di
tengah-tengah api unggun disertai canda-tawa diantara kami, suasana
kebersamaan inilah yang membuat kegiatan ini sangat special dimata
saya. Dekat dengan alam, dengan teman-teman dan dengan Tuhan membuat
kita sadar bahwa hidup di dunia ini harus selaras dan saling
membutuhkan. Tanpa keselarasan dalam jiwa manusia, manusia tak akan
bisa hidup dengan tenang. Berhubung tendanya hanya muat buat 3 orang,
aku, gundul dan gremmer mengalah tidur diluar berselimut kabut
dingin. Seringkali aku terbangun karena kedinginan, badanku menggigil
dengan hebat dan terkadang kakiku kram. Sehingga membuatku tak bisa
tidur dengan nyenyak, akhirnya aku menyalakan api unggun lagi agar
badanku hangat kembali dan tidurlah aku disamping hangatnya api
unggun.
Pagi
menjelang, sekitar pukul 04.30 WIB kami semua terbangun dan semua
pendaki juga terbangun karena inilah saatnya matahari terbit. Kami
bergegas membereskan tenda dan barang-barang kami untuk secepat
mungkin menuju puncak tertinggi. Akhirnya kami dapat melihat ciptaan
yang maha Kuasa nan indahnya yang menampakkan wujudnya didepan mata
kami. Matahari terbit menandakan betapa besarnya nikmat yang
diberikan sang Pencipta buat para makhluknya dan menandakan bahwa
mulai hari ini bangsa kita merayakan hari kemerdekaannya lagi. Kami
serentak hormat ketika Bendera sang-saka merah putih berkibar dengan
gagahnya dipuncak beserta alunan lagu Indonesia raya yang
berkumandang. Sesudah itu kami mengabadikan momen ini satu persatu
untuk dapat dikenang nanti dan akhirnya saya lega dapat
menceritakannya pada tulisan ini.
Perayaan upacara 17 Agustus di Puncak G.Penanggungan |
Hormat Sangsaka Merah Putih |
"We are so proud be indonesian people" |
Dalam
perjalanan turun, kami menyempatkan diri untuk mencari bunga
Edelweiss. Berhubung bunganya sudah habis atau keduluan diambili oleh para pendaki lain. Akhirnya Sas nekad tetap mencari ke suatu lembah yang
jarang dijamah oleh para pendaki lain, memang dari jauh kelihatan di
lembah tersebut terdapat banyak bunga Edelweissmenurut kami yang tumbuh subur. Kami tak bisa melarang tindakannya karena tekadnya sudah bulat untuk dapat bunga edelweiss hari itu juga, kamipun hanya bisa berpesan agar berhati-hati dalam menuruni lembah, kalau
seumpama berbahaya kembali saja dan jangan nekad. Tapi memang Sas itu
tipe orang yang pemberani dan nekad, dia bahkan menyuruh kami agar menunggu dia
di candi Sinta saja atau kalau kelamaan kami disuruh turun duluan saja
dan jangan mencemaskan dia lagi. Ya sudah, kami turun dengan tak
tergesa-gesa atau santai karena ketika turun kondisi trek lebih berbahaya daripada ketika naik. Jadi kami harus hati-hati agar tak
terjatuh dan tak terpeleset. Akhirnya kami ketemu sama Sas dalam
perjalanan turun dari Candi Gentong ke Candi Pure. Dia akhirnya
mendapatkan bunga yang Selama ini didambakan oleh para pendaki. Kami
sampai ke base camp sekitar jam 09.30 WIB dan kami melepas lelah
dengan masuk ke Candi Jolotundo dan membasuh kaki kami di kolam Candi
yang banyak ikannya. Dan tidak lupa kami mendapat oleh-oleh berharga
yaitu bunga Edelweiss atau Bunga Abadi. Sebenarnya mengambil bunga Edelweiss adalah larangan bagi para pecinta alam, karena kita disuruh melestarikan setiap flora dan fauna yang terdapat di habitat mereka tanpa merusak bahkan mengambilnya. Kami sungguh menyayangkan perbuatan kami saat itu yang ternyata bisa mengurangi populasi bunga langka tersebut, dalam benak kami cukup sekali mengambil bunga tersebut dan di lain waktu kami tak akan mengambilnya lagi. "I promise on my word". Demikianlah
cerita pertualangan saya bersama teman-teman ketika mendaki gunung
Penanggungan. Semoga dapat menjadi Inspirasi Kawan-kawan yang
menginginkan pengalaman baru yang menantang.
Selamat
mencoba dan Selamat Mendaki!!!
(17 Agustus 2009)
Lain kali kalo ekspedisi ke cagar budaya jangan dinaikin ya, misal jangan naikin Candi. Itu ngerusak lho ;)
BalasHapusOke trims atas sarannya....
BalasHapusmaklum masih muda, masih tahap belajar dan tahap pendewasaan diri....
Itu ngambil Bunga Edelweis? Kan ga boleh...
BalasHapushehehe,,, iya bos,, jaman enom2an dulu,, msh gk ngerti aturan... sorry!!!
BalasHapus