Sabtu, 18 Februari 2012

"Reuni kemerdekaan" (Penanggungan)


G.Penanggungan (1653 mdpl)

Bercerita tidaklah sulit untuk dilakukan sebagian orang apabila hobinya memang suka bercerita, tapi bercerita sambil menulis inilah yang sulit dilakukan sebagian orang karena tak semuanya juga suka menulis. Dalam kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih buat kawan-kawan yang sudah bersedia menyempatkan membaca blog saya ini, berikut ini saya ulaskan sedikit pengalaman saya saat mendaki G.Penanggungan pertama kali semenjak menjadi seorang mahasiswa. Ini adalah pendakianku kalau tidak salah saat itu ke 3 kalinya, aku sudah bolak-balik ke G.Penanggungan sejak dari jaman SMA dulu, jadi riwayat pengalaman pertama pendakianku adalah ke gunung ini. Tapi kenapa gunung ini selalu buat aku kangen??? Jawabannya adalah karena gunung ini gk tinggi-tinggi amat dan tidak perlu persiapan khusus kayak naik gunung-gunung lain yaitu cukup bawa air, makanan dan jaket saja. Selain itu pemandangan gunung ini sering nampak dalam penglihatan saya setiap dalam perjalanan berangkat atau pulang kerumah, jadi selalu terbesit keinginan mendaki gunung ini. Apalagi jaraknya tak terlalu jauh dari rumah jadi bisa hemat waktu dan sekaligus hemat budget juga.
Gunung Penanggungan berlokasi di perbatasan antara kabupaten Pasuruan-Mojokerjo Jawa Timur. Dengan memiliki ketinggian 1653 Mdpl dan sudah tak aktif lagi menjadikan gunung ini tetap menjadi primadona para pendaki dari kawasan Surabaya, Mojokerto, Sidoarjo dan Pasuruan. Kita dapat mendakinya melalui dua jalur utama yaitu dapat melalui Pos Trawas dan Pos Jolotundo. Meskipun gunung ini dalam kategori kecil atau gak tinggi-tinggi amat, tapi tantangan yang disajikan gunung ini melalui treknya sungguh memberikan pengalaman yang terlupakan bagi para pendakinya. Karena stamina kita akan digenjot untuk naik terus-menerus dari pos perijinan hingga kepuncak, kira-kira membutuhkan waktu 6 jam perjalanan. Gunung ini sering disebut para pendaki sebagai replika G. Meru dari India, karena puncak utama gunung ini sama miripnya ditopang empat puncak gunung kecil disekitarnya atau asal-usul gunung ini dulunya merupakan penggalan dari puncak G.Meru India yang dibawa oleh para dewa untuk menenangkan bumi Jawa yang saat itu sedang kacau gonjang-ganjing, tetapi dalam perjalanan G.Meru jatuh terbelah 2 yang puncaknya jatuh menjadi G.Penanggungan dan badannya jatuh di Lumajang menjadi G.Semeru. Itulah sedikit cerita rakyat mengenai gunung ini yang dulunya orang disekitarnya menyebutnya sebagai gunung Prawitra, di gunung ini banyak ditemukan peninggalan purbakala berupa candi-candi dan gua-gua baik dari kaki gunung, badan gunung hingga puncak gunung. Kurang lebih terdapat 81 situs peninggalan purbakala yang tersebar di gunung ini dan diantaranya merupakan peninggalan dari kerajaan majapahit. Gunung ini dulunya adalah gunung suci umat hindu pada zaman kerajaan majapahit, sehingga sering digunakan sebagai tempat persemedian para resi yang ingin menyepi dari keramaian dengan hidup lebih dekat dengan para dewa, jadi mereka dulu beranggapan puncak gunung adalah tempat kediaman para dewa. Kebanyakan gunung-gunung di pulau jawa pasti memiliki keterkaitan dengan cerita-cerita zaman dulu, sehingga banyak diantaranya yang memiliki kisah mistik tersendiri. 
Dalam ekspedisi ini kami sebenarnya hanya terdiri dari 3 orang saja, yaitu Saya, Sas dan Korak, tapi menjelang keberangkatan Sas mendapat SMS bahwa teman kami dari SMA dulu yaitu Apris ingin ikut gara-gara tahu dari status FB kami. Dia mengajak 2 temannya yang kebetulan satu kampus juga dengan saya yaitu ITS, Jadilah kami berangkat ber-6 dengan tambahan personel Apris, Gundul dan Gremmer. Kami Start dari rumah Korak di Krembung-Sidoarjo dan menempuh perjalanan melewati perbatasan Sidoarjo-Mojokerto yaitu didaerah Ngoro. Karena perbatasan ini dibatasi oleh Sungai Brantas, jadi kami harus melewati jembatan penghubung satu-satunya yang terbuat dari kayu yang merupakan peninggalan zaman Belanda juga. Jembatan ini panjangnya kurang lebih 150 m dan kalo waktu lewat memberikan kesan tersendiri karena akan digoyang oleh derasnya arus sungai brantas dan jangan pernah sesekali menengok ke kesamping apalagi kebawah. Setelah itu sampailah kami di desa Seloliman- Trawas yang merupakan base camp pendakian gunung ini kalo mau lewat dari Jolotundo. Jolotundo adalah nama salah satu situs peninggalan purbakala yang berupa candi pertitaan/pemandian tepatnya peninggalan kerajaan Airlangga kalo tidak salah. Kami memarkir kendaraan kami di parkiran obyek wisata Jolotundo dengan membayar satu motornya Rp.5000 dan karena kami masuk dalam kawasan wisata, kami juga kena retribusi tiket masuk Rp.3000 perorangnya. Tapi tiket masuk itu kami gunakan untuk masuk pas sekembalinya dari pendakian.
Kami Start pendakian mulai pukul 14.30 WIB dengan menyusuri trek sempit dan menanjak, baru beberapa menit berjalan saja stamina kami sudah terkuras akibat panasnya cuaca saat itu dan keringnya kondisi trek saat itu seringkali membuat jalan tersebut berdebu kalo diinjak. Belum disitu saja rintangan yang disajikan gunung ini, belum seperempat perjalanan kami sudah kebingungan mencari jalur pendakian. Saat itu jalur pendakian ini tidaklah begitu jelas karena banyaknya jalur non pendakian yang dibuat oleh para petani ladang dan para pemburu, sehingga seringkali banyak pendaki yang tersesat. Saya, Sas, Korak dan Apris pernah tersesat gara-gara dibingungkan lewat jalur ini sehingga kami terpaksa memutari badan gunung dan membutuhkan waktu 10 jam perjalanan untuk sampai puncak, sungguh pengalaman yang tidak mengenakkan. Jadi kami belajar dari pengalaman saat itu, kami memutuskan untuk berhenti dulu dan berpikir matang-matang. Jalur pendakian sebenarnya biasanya memiliki jalur yang jelas dan terkadang terdapat tanda-tanda yang dibuat oleh para pendaki lain agar tak tersesat. Akhirnya kami mengikuti tanda-tanda yang dibuat para pendaki lain yang berupa goresan cat berwarna di pohon-pohon. Sesampainya di tengah jalan kami merasa kurang sreg, sehingga kami memutuskan bertanya saja pada petani yang lewat di jalur ini. Petani itu menjelaskan bisa saja kami lewat sini tapi kami harus memutari badan suatu bukit dan membutuhkan waktu agak lama, sedangkan kami bisa memperpendek waktu dengan memotong kompas melewati bukit diatas kami yang merupakan jalur lama. Akhirnya kami memutuskan lewat jalur lama dengan memotong kompas melewati ladang yang letaknya disalahsatu bukit, sesampainya di puncak bukit tersebut kami teringat dulu kami pernah lewat jalur ini. Kami beranggapan jalur lama ditutup mungkin karena jalurnya kurang jelas dan sering membuat para pendaki kesasar, akhirnya untuk menagtasi masalah ini dibuatlah jalur baru dengan trek yang mudah tapi jaraknya agak jauh. Kami melanjutkan perjalanan dengan trek tanjakan terus sehingga stamina kami cepat terkuras.
Sesi Break di Trek Jolotundo - Watutalang
           Kurang lebih 2,5 jam kami sudah berjalan dan akhirnya kami tiba di Pos pertama yaitu Candi Bayi sekaligus berjalan lurus sedikit sampailah kami di Watu Talang. Candi Bayi dan Watu Talang jaraknya berdekatan sehingga kita dapat memilih salah satu tempat untuk beristirahat sejenak. Kami beristirahat sejenak di Candi bayi karena tempatnya teduh, kami mengeluarkan sedikit snack dan buah-buahan untuk kami makan sebagai pengganjal perut. Candi Bayi berupa tumpukan batu andesit yang tinggal pondasinya saja dan tidak terlalu besar ukurannya, sedangkan Watu Talang adalah sebuah sungai bekas aliran lahar dingin dari Gunung ini zaman dulu. Di watu talang kami menyempatkan diri untuk berfoto-foto terlebih dahulu karena memiliki sebuah pemandangan yang unik dengan tumpukan-tumpukan batu andesit bekas lava yang terbentuk rapi dan memanjang kebawah.
Watu Talang
 Kami melanjutkan perjalanan kami dengan menyeberangi watu talang dan melewati punggung kaki gunung, disertai semak-semak belukar yang berupa alang-alang dengan daunnya yang dapat melukai kulit dan tumbuhan yang memiliki ranting-ranting pendek yang terkadang menghambat kami dalam perjalanan karena kami seseringkali menunduk ketika melewatinya. Setelah satu jam perjalanan akhirnya kami di Candi Putri dan kami beristirahat sebentar. Candi putri adalah candi kedua yang kami temui dalam perjalanan dengan bentuknya yang agak besar, kondisi yang masih utuh dan melekat di badan gunung.Kemudian kami melanjutkan perjalanan lagi, setengah jam perjalanan kami sampai di Pos ketiga yaitu candi Pure. Candi Pure letaknya ditempat agak terbuka dengan bentuk candi hanya berupa 2 nisan yang entah menggambarkan adanya kuburan disitu atau hanya sebuah prasasti peninggalan purbakala zaman dulu. Kami melanjutkan perjalanan lagi selama setengah jam untuk menuju ke Pos keempat yaitu Candi Gentong, di Candi Gentong ini terdapat sebuah meja batu dan sebuah gentong.Setelah itu kami berjalan kurang lebih 5 menit untuk menuju candi terakhir sekaligus pos terakhir yaitu Candi Sinta. Disini kami dapat melihat puncak Penanggungan tapi kelihatan masih jauh untuk mencapainya. 

Candi Putri

Candi Pure

Candi Gentong
Candi Sinta

Dengan semangat 45, kami langsung melanjutkan perjalanan lagi. Dan inilah saatnya menghabiskan stamina yang ada dengan perjalanan naik, naik dan naik terus menerus. Ini belum ditambah parahnya kondisi jalur kami lewati karena ini adalah jalur air mengalir dari puncak ketika hujan jadi tanahnya agak labil ketika menjadi pijakan. 15 menit berjalan- 5 menit break dan seterusnya itulah kondisi kami saat itu, bagaimana tidak?? Dengan kemiringan sekitar 65˚, terkadang kami harus memanjat atau merangkak untuk melewati jalur ini. 
Sesi Break di Trek Menuju Puncak
Setelah langit mulai petang, barulah kami mulai mencari kayu bakar untuk membuat perapian diatas, kayu bakar disini sangatlah melimpah karena banyak dijumpai pada saat perjalanan kepuncak. Kayu bakar yang dimaksud berupa ranting dari semak belukar yang sudah kering, sehingga kami dari dulu tak pernah membawa kompor untuk memasak di puncak. Setelah kami kira cukup kayu bakar yang didapat, kami mengeluarkan jaket dan sarung tangan karena hawa disekitar sudah mulai dingin akibat kabut yang mulai turun dari puncak. Tidak lupa kami mengeluarkan senter pula untuk penerangan dalam perjalanan. Kemudian kami melanjutkan perjalanan dengan berselimut kabut yang mulai mengurangi jarak pandang kami kedepan. Terkadang kabut menghilang, kami dapat melihat indahnya gemerlap lampu yang menyala di bawah kami, dan kami juga dapat melihat kelap-kelip cahaya senter para pendaki yang hampir sampai di puncak atau api yang dibuat oleh para pendaki di puncak. Hal itu semakin menambah semangat kami untuk segera mungkin sampai dipuncak, dan yang pertama kali sampai di puncak adalah Korak. Disusul Sas, aku dan yang lain dan kami berteriak sepuasnya untuk mengungkapkan kegembiraan kami karena telah sampai dipuncak Penanggungan.
Di puncak kondisinya sangatlah ramai, karena kami kesini tepat dalam rangka merayakan hari kemerdekaan RI esoknya. Disana-sini terdapat tenda, seolah kami sudah tidak kebagian tempat lagi untuk mendirikan tenda. Akhirnya kami turun ke bawah yaitu ke kawah Penanggungan yang berupa lahan datar yang luas, disini kami sebelum mendirikan tenda kami harus membersihkan alang-alang terlebih dulu untuk dapat dijadikan alas bagi tenda dan tikar kami. Selesainya bersih-bersih, kami langsung mendirikan tenda dan membuat api unggun. Tidak lupa kami juga memasak makanan untuk mengganjal perut kami dan minuman untuk menghangatkan tubuh kami, kami memasak mie dan air panas untuk kopi. Setelah mie masak kami saling berebutan makan tanpa peduli kepanasan, kebersihan dll. Karena perut kami sudah lapar dan apapun makanan biarpun makanan itu basi kalo kondisi perut kita kelaparan dan badan kedinginan pasti semuanya menjadi enak dan lezat. Hal itu sudah saya buktikan ketika pendakian saya yang kedua, saat itu saya membungkus makanan dari rumah. Karena saking lamanya perjalanan membuat makanan saya basi, tapi tak lantas saya buang malahan saya makan karena perut saya memang benar-benar lapar. Hal ini mengajarkan kepada kita bahwa jangan sekali menyisakan bahkan membuang makanan, hargailah mereka karena kita belum pernah dalam kondisi kelaparan. Setelah itu kami ngopi bareng sambil menghangatkan diri di tengah-tengah api unggun disertai canda-tawa diantara kami, suasana kebersamaan inilah yang membuat kegiatan ini sangat special dimata saya. Dekat dengan alam, dengan teman-teman dan dengan Tuhan membuat kita sadar bahwa hidup di dunia ini harus selaras dan saling membutuhkan. Tanpa keselarasan dalam jiwa manusia, manusia tak akan bisa hidup dengan tenang. Berhubung tendanya hanya muat buat 3 orang, aku, gundul dan gremmer mengalah tidur diluar berselimut kabut dingin. Seringkali aku terbangun karena kedinginan, badanku menggigil dengan hebat dan terkadang kakiku kram. Sehingga membuatku tak bisa tidur dengan nyenyak, akhirnya aku menyalakan api unggun lagi agar badanku hangat kembali dan tidurlah aku disamping hangatnya api unggun.
Pagi menjelang, sekitar pukul 04.30 WIB kami semua terbangun dan semua pendaki juga terbangun karena inilah saatnya matahari terbit. Kami bergegas membereskan tenda dan barang-barang kami untuk secepat mungkin menuju puncak tertinggi. Akhirnya kami dapat melihat ciptaan yang maha Kuasa nan indahnya yang menampakkan wujudnya didepan mata kami. Matahari terbit menandakan betapa besarnya nikmat yang diberikan sang Pencipta buat para makhluknya dan menandakan bahwa mulai hari ini bangsa kita merayakan hari kemerdekaannya lagi. Kami serentak hormat ketika Bendera sang-saka merah putih berkibar dengan gagahnya dipuncak beserta alunan lagu Indonesia raya yang berkumandang. Sesudah itu kami mengabadikan momen ini satu persatu untuk dapat dikenang nanti dan akhirnya saya lega dapat menceritakannya pada tulisan ini.
Perayaan upacara 17 Agustus di Puncak G.Penanggungan
Hormat Sangsaka Merah Putih

"We are so proud be indonesian people"

Dalam perjalanan turun, kami menyempatkan diri untuk mencari bunga Edelweiss. Berhubung bunganya sudah habis atau keduluan diambili oleh para pendaki lain. Akhirnya Sas nekad tetap mencari ke suatu lembah yang jarang dijamah oleh para pendaki lain, memang dari jauh kelihatan di lembah tersebut terdapat banyak bunga Edelweissmenurut kami yang tumbuh subur. Kami tak bisa melarang tindakannya karena tekadnya sudah bulat untuk dapat bunga edelweiss hari itu juga, kamipun hanya bisa berpesan agar berhati-hati dalam menuruni lembah, kalau seumpama berbahaya kembali saja dan jangan nekad. Tapi memang Sas itu tipe orang yang pemberani dan nekad, dia bahkan menyuruh kami agar menunggu dia di candi Sinta saja atau kalau kelamaan kami disuruh turun duluan saja dan jangan mencemaskan dia lagi. Ya sudah, kami turun dengan tak tergesa-gesa atau santai karena ketika turun kondisi trek lebih berbahaya daripada ketika naik. Jadi kami harus hati-hati agar tak terjatuh dan tak terpeleset. Akhirnya kami ketemu sama Sas dalam perjalanan turun dari Candi Gentong ke Candi Pure. Dia akhirnya mendapatkan bunga yang Selama ini didambakan oleh para pendaki. Kami sampai ke base camp sekitar jam 09.30 WIB dan kami melepas lelah dengan masuk ke Candi Jolotundo dan membasuh kaki kami di kolam Candi yang banyak ikannya. Dan tidak lupa kami mendapat oleh-oleh berharga yaitu bunga Edelweiss atau Bunga Abadi. Sebenarnya mengambil bunga Edelweiss adalah larangan bagi para pecinta alam, karena kita disuruh melestarikan setiap flora dan fauna yang terdapat di habitat mereka tanpa merusak bahkan mengambilnya. Kami sungguh menyayangkan perbuatan kami saat itu yang ternyata bisa mengurangi populasi bunga langka tersebut, dalam benak kami cukup sekali mengambil bunga tersebut dan  di lain waktu kami tak akan mengambilnya lagi. "I promise on my word". Demikianlah cerita pertualangan saya bersama teman-teman ketika mendaki gunung Penanggungan. Semoga dapat menjadi Inspirasi Kawan-kawan yang menginginkan pengalaman baru yang menantang.

Selamat mencoba dan Selamat Mendaki!!!
(17 Agustus 2009)


4 komentar:

  1. Lain kali kalo ekspedisi ke cagar budaya jangan dinaikin ya, misal jangan naikin Candi. Itu ngerusak lho ;)

    BalasHapus
  2. Oke trims atas sarannya....
    maklum masih muda, masih tahap belajar dan tahap pendewasaan diri....

    BalasHapus
  3. Itu ngambil Bunga Edelweis? Kan ga boleh...

    BalasHapus
  4. hehehe,,, iya bos,, jaman enom2an dulu,, msh gk ngerti aturan... sorry!!!

    BalasHapus